Kamis, 28 Maret 2013

Person Centered Therapy


PERSON CENTERED THERAPY

Carl Rogers (1902-1987) adalah seorang psikolog humanistik yang berfokus pada hubungan terapeutik dan mengembangkan metode baru terapi yang berpusat pada klien atau Person Centered Therapy. Dimana Rogers adalah salah satu individu yang pertama kali menggunakan istilah “klien” buka “ pasien”. Terapi berpusat pada klien ini berfokus pada peran klien, bukan ahli terapi sebagai kunci proses penyembuhan. Menurut Rogers, klien benar-benar berupaya untuk sembuh dan dalam hubungan ahli terapi klien yang suportif dan saling menghargai, klien dapat menyembuhkan dirinya sendiri.

·      Konsep Utama
Berdasarkan pengalaman klinisnya Roger telah sampai kepada keyakinan dasar filosofis bahwa organisme manusia pada hakekatnya mempunyai tujuan tertentu dan berkembang maju ke depan. Hal ini mencakup tiga konsep yang diidentifikasi oleh Rogers :
1. Rasa hormat yang positif dan tidak bersyarat, suatu kepedulian terhadap klien yang tidak menghakimi dan tidak bergantung pada perilaku klien
2.  Ketulusan atau sikap apa adanya, atau kesesuaian antara apa yang ahli terapi rasakan dan kataka kepada klien.
3.  Sikap memahami dan emapati, ahali terapi merasakan perasaan dan makna personal dari klien dan menyampaikan pemahaman ini kepada klien.

·      Tujuan Person Centered Therapy
Tujuan utamanya adalah mengembalikan klien kepada kehidupan perasaan dan mendorongnya untuk menemukan feeling self-nya yang asli. Membantu klien agar mampu membiarkan kehidupan perasaan-perasaannya tanpa halangan dan dapat mensimbolisasikan pengalaman-pengalamannya dalam sebuah konsep diri yang lebih memadai. Dengan kata lain membantu mengembangkan semaksimal mungkin feeling self-nya, sehingga lebih luas, memadai, dan sesuai dengan perasaan dan pengalaman-pengalaman organismiknya. Dengan demikian klien dapat lebih kongruen, otentik, dan terbuka. Mampu menjadi pribadi yang kuat, unik dan ekspresif. Mampu menyelesaikan masalahnya sendiri secara mandiri, berfungsi lebih efisien, memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi. Dan mampu mewujudkan suatu pribadi yang berfungsi sepenuhnya.

·      Fungsi dan Peran Terapis
Fungsi dan peran terapis adalah perlunya menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan klien mampu menemukan konsep dirinya yang benar yang sepadan dengan kodratnya. Proses perkembangan yang harus dimulai dan dibangkitkan sendiri oleh klien, sedangkan terapi hanyalah katalisator dan fasilitator yang mempermudah proses perkembangan tersebut, melalui penciptaan relasi khusus yang memungkinkan klien mengubah sikap-sikap palsu yang telah dipeajari, sehingga secara bertahap dapat berkembang sebagai pribadi yang utuh dan otentik.
Konsekuensinya, terapis tidak boleh menciptakan relasi kekuasaan yang dapat menjadikan anak menjadi bergantung. Tidak boleh bersikap “direktif” dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan diagnosis, memberi nasehat-nasehat dan penilaian eksternal. Tidak boleh mengontrol, memandang klien sebagai “objek” dan banyak memberikan penafsiran. Sebaliknya, terapis harus mampu mengembangkan sikap emphatik, dengan masuk didalam dunia subjektif dan keunikan pribadi klien.
Peran utama teapis adalah membantu menyesuaikan konsep diri anak dengan seluruh pengalamannya agara pengalaman tersebut tidak dialami sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, tetapi sebagai suatu yang dapat diintegrasikan dalam sebuah konsep diri yang lebih luas.

·      Proses dan Tehnik Terapi Person Centered Therapy
    1. Konselor haruslah seorang yang kongruen dan terintegrasi dalam relasinya. Artinya, konselor      harus mampu memiliki keberanian untuk menampilkan dirinya yang asli, otentik, tulen, jujur, tulus, polos, terbuka, sunguh-sungguh, dan terintegrasi terhadap kliennya. Sehingga klien benar-benar merasa diterima sebagai pribadi apa adanya .
    2. Adanya pemberian penghargaan positif tanpa syarat kepada klien oleh terapis, yang berarti ada sikap menerima, perhatian yang simpatik, penghormatan, dan sikap penghargaandan permasalahan yang dialami.
    3.  Kemampuan terapis untuk memahami ecara emphatik dunia pengalaman batin anak. Memahami secara emphatik, hakekatnya adalah upaya untuk berada pada kondisi yang sama dengan pribadi anak dalam rangka penyadaran dan perubahan pribadi anak. Caranya dapat dilakukan dengan mendengarkan anak dengan hati terbuka dan penuh perhatia, mmemasukkan diri afektif dan kognitif ke dalam dunia pengalaman eksistensial anak sebagaimana dirasakan anak.

·      Kelebihan dan Kekurangan Person Centered Therapy
    Pendekatan Person Centered Therapy dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
  1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan  peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar. 
  2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi. 
  3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru. 
  4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling. 
  5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan. 
  6. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Adapun kelemahan pendekatan Person Centered Therapy terletak pada beberapa hal berikut ini:
  1. Cara sejumlah terapis menyalah tafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi klien. 
  2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Person Centered Therapy, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya. 
  3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik. 
  4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah terapis menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.

Referensi :
  • Duane. Schultz. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta : Kanisius (Anggota IKAPI) 
  • Goble. G. Frank. 1987. Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta : Kanisius (Anggota IKAPI)

Jumat, 22 Maret 2013

Terapi Humanistik-Eksistensial


TERAPI HUMANISTIK-EKSISTENSIAL

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. 

·         Konsep Utama Humanistik

(1)keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2)manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia   lainnya;
(3)manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain;
(4)manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya;
(5)manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

·         Tujuan Terapi Humanistik-Eksistensial

1.     Agar klien dapat lebih kongruen, otentik, dan terbuka.
2.    Mampu menjadi pribadi yang kuat, unik, dan ekspresif
3.    Agar klien dapat bertanggung jawab terhadap masalahnya
4.    Mendorong klien untuk menghadapi kecemasan yang berkaitan dengan pilihan-pilihan bagaimana menjalani hidup
5.    Serta bagaiamana klien dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan baik.

·         Fungsi dan Peran Terapi dalam Terapi Humanistik-Eksistensial

Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagai ada dalam dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase yang dijalani oleh klien yang sama.
Tetapi eksistensil memusatkan pada pengertian subjektif, terhadap dunia klien dan membuatnya mendapatkan pengertian yang baru. Fokusnya adalah pada kehidupan yang sekarang. Terapis membentuk hubungan yang efektif dengan klien dan membantu klien mengerti dan merasa tertantang serta menyadarkan klien akan tanggung jawabnya, terapis membuat/membenarkan pola piker klien yang salah terhadap hidupnya.
Menurut Buhler dan dan Allen, para ahli psikilogi humanistik memiliki arti bersama yang mencakup hal-hal berikut :
1. Mengakui pentingnya pendekatan diri pribadi ke pribadi
2. Menyadari peran dari tanggung jawab terapis
3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik
4. Berorientasi pada pertumbuhan

Referensi :
Semiun. Yustinus, OFM. 2006. Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Kanisius
Davison. C.Gerald. 2010. Psikologi Abnormal Edisi 9. Jakarta : Rajawali